Sabtu, 17 Maret 2012

NEGATIVE LEGISLATOR

                                                                 NEGATIVE LEGISLATOR
                                                                           Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
Penggunaan judicial review (JR) telah berumur cukup lama. Pelacakan sejarah yang dilakukan Mauro Cappelletti (1989), konsep JR telah dimulai sejak sistem hukum Yunani Kuno yang menetapkan keniscayaan suatu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan nilai peraturan yang berada di atasnya. Gagasan JR, melakukan pemurnian produk legislasi yang dihasilkan law-maker.
Terkait dengan gagasan itu, Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State (1973) mengemukakan bahwa kewenangan lembaga peradilan menyatakan suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga tidak Sampai saat ini pemikiran JR terus berkembang terutama setelah John Marshall yang kemudian melahirkan istilah judicial review tersebut di atas. Sedangkan dalam pelembagaannya mengenal nama Hans Kelsen sebagai perintis lahirnya Mahkamah Konstitusi pertama. Dalam istilah Kelsen, pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation.”
Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator. Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:
The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be composed according to a totally different principle from that of the parliament elected by the people.
Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif. Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal order”. Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian itu, tambah Laica Marzuki, tidak hanya perlemen yang memiliki legislative function tetapi juga constitutional court.
Menjelaskan siginifikansi judicial power dalam proses legislasi, Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet (1999) dalam Comparative Constitutional Law mengatakan, ketika hakim konstitusi (constitutional judges) melakukan review terhadap hasil proses legislasi, proses pengambilan keputusannya lebih dekat ke proses pengambilan keputusan lembaga legislatif. Bahkan, begitu pentingnya peran judicial review dalam proses legislasi, Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet menyebut judicial review sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi. Hal tersebut ditegaskan sebagai berikut:
As a description of function, constitutional courts exercising politically initiated abstract review can be conceptualized profitably as a third legislative chambers whose behavior is nothing more or less than the impact –direct and indirect-- of constitutional review on legislative outcomes.
Pendapat Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet tersebut diperkuat oleh I. Bogdanovskaia sebagai berikut ini:
The bodies of the constitutional review have become important element influences on the law-making. Sometimes the position of these bodies is opposite to the position of the parliament and government and often position of the constitutional review is dominant. The constitutional courts play important role in the modern legal systems.
Dengan demikian, secara keseluruhan konsep judicial review memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan mekanisme legislasi. Secara teoretik, konsep itu dapat dianggap sebagai pengganti kebutuhan kamar lain di lembaga legislatif. Keberadaannya amat jelas, sebagai pengimbang produk legislasi baik setelah disetujui lembaga legislatif maupun setelah disahkan menjadi undang-undang. Di samping itu, judicial review merupakan jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi yang menyimpang dari aspirasi fundamental rakyat. Karena itu, judicial review merupakan alat kontrol eksternal dalam proses legislasi.
Kontrol dalam bentuk judicial review menjadi sebuah keniscayaan terutama jika kekuatan mayoritas di lembaga legislatif merupakan pendukung presiden. Artinya, judicial review dapat dikatakan sebagai sebagai sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif. Inilah yang oleh Hans Kelsen, “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation.” Ide dasarnya adalah memurnikan hasil legislasi yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga yudikatif, dengan kuatnya kepentingan politik di lembaga legislatif, sangat terbuka kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat.
Dengan demikian, kehadiran MK yang diberikan wewenang untuk melakukan judicial review secara langsung telah ikut mempengaruhi proses legislasi di Indonesia. Hal demikian, MK telah menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya kekeliruan baik formail maupun subtansial dalam proses legislasi.



John E. Ferejohn, 2002-2003, Constitutional Review in the Global Context, dalam 6th New York University Journals, Legis. & Pub. Pol’y 49, 52.
Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268.
Ibid., hal. 268-269.
Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256.
Anna Rotman, 2004, Benin’s Constitutional Court : An Institutional Model for Guaranteeing Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat juga: Gustavo Fernandes de Andrade, 2001, Comparative Constitutional Law: Judicial Review, dalam 3 U. Pa. Journal Constitutional Law. 977, hal. 983.
H.M. Laica Marzuki, 2007, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 6.
Vicki C. Jackson, & Mark Tushnet, 1999, Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hal. 706.
Ibid.
I. Bogdanovskaia, op.cit. hal. 30.
Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University Press, hal. 2.
John E. Ferejohn, 2002-2003, Constitutional Review in the Global Context, dalam 6th New York University Journals, Legis. & Pub. Pol’y 49, 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar