Minggu, 18 Maret 2012

Contoh Surat Penangkapan

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
         DAERAH BALI
  Jl. W.R. Soepratman Nomor 7 Denpasar 80361
“PRO JUSTITIA“

SURAT PERINTAH PENANGKAPAN
Nomor    : SP. Kap / 28 / V / 2009 / RESKOBA

Pertimbangan    :    Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan tindak pidana, dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 (dua) kali berturut – turut tidak datang tanpa alasan yang sah, maka perlu mengeluarkan Surat Perintah ini.

Dasar    :    1.   Pasal 5 ayat (1) b angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 16, Pasal 17, Pasal   18,     Pasal 19 dan  Pasal 37 KUHAP.
2.    Undang – undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
3.    Laporan Polisi NO. POL. K/LP/578/V/2009/RESKOBA, tanggal 13 Oktober 2009.
DIPERINTAHKAN
Kepada    :    1 .    Nama    :  I NENGAH PINPIN        3. 
                                            Pangkat / Nrp    :  IPDA/66110012       
                                              Jabatan     :  PENYIDIK                                      
                                    2.       Nama    :  KETUT SUKIYASA       4.              
               Pangkat / Nrp    :  AIPDA / 71080163                    
                                               Jabatan               :  PENYIDIK PEMBANTU                              
                                     
Untuk    :    1.      Melakukan penangkapan terhadap   :
Nama    :    PAUL YEN
Jenis Kelamin    :    Laki – laki
Tempat tanggal lahir        :      Sydney, 28 Maret 1979 (umur 31 tahun)
Pekerjaan    :    Wiraswasta
Agama    :      Kristen
Kewarganegaraan    :      Australia
Tempat tinggal          :    Crowne Towers, Melbourne Whiteman Street, Soutbank VIC 3006 AUS
Dan membawa ke Kantor Polisi Daerah Bali tersebut diatas untuk segera dilakukan pemeriksaan, karena diduga keras melakukan Tindak Pidana tanpa hak atau melawan hukum bersama-sama atau turut serta atau berdiri sendiri-sendiri menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I yaitu jenis heroin beratnya melebihi 5 (lima) gram sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo. Pasal 55 KUHP subsider tanpa hak atau melawan hukum bersama-sama atau turut serta atau berdiri sendiri-sendiri memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Nakotika Golongan I bukan tanaman yaitu jenis heroin beratnya melebihi 5 (lima) gram, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo. Pasal 55 KUHP.
2.   Setelah melaksanakan perintah ini agar membuat Berita Acara Penangkapan.
    3.   Surat Perintah ini berlaku dari  tanggal 13 Oktober 2009 s/d  14 Oktober 2009.           
    Dikeluarkan di     :    Denpasar
                                                                                                         Pada tanggal         :    13 Oktober 2009       
                                                                                             a.n. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH BALI
                                               KASAT  RESKOBA Selaku PENYIDIK
       

   A.A. ADIL ARYAWAN
  INSPEKTUR JENDRAL NRP 57000358

Pada hari ini Selasa tanggal 13 Oktober 2009 , lembar ke V Surat Penangkapan diserahkan kepada tersangka dan tembusan kepada keluarganya.

               Yang menerima/tersangka                                            Yang menyerahkan



                          PAUL YEN                            AKP. I NENGAH PINPIN                                              IPDA/66110012   







                                                                 
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
         DAERAH BALI
  Jl. W.R. Soepratman Nomor 7 Denpasar 80361
“ PRO JUSTITIA”



                                                       
                                                 SURAT PERINTAH PENANGKAPAN
 Nomor    : SP. Kap / 28 / V / 2009 / RESKOBA

Pertimbangan    :    Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan tindak pidana, dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 (dua) kali berturut – turut tidak datang tanpa alasan yang sah, maka perlu mengeluarkan Surat Perintah ini.

Dasar    :    1.   Pasal 5 ayat (1) b angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 16, Pasal 17, Pasal   18,     Pasal 19 dan  Pasal 37 KUHAP.
2.    Undang – undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
3.    Laporan  Polisi  No. Pol: K/LP/578/V/2009/ RESKOBA, tanggal 13 Oktober 2009.
DIPERINTAHKAN
Kepada    :    1 .    Nama    :  I NENGAH PINPIN     3.    3.                                            
                                          Pangkat / Nrp    :  IPDA/66110012   
                                          Jabatan     :  PENYIDIK                                 
                                    2.      Nama    :  KETUT SUKIYASA                
               Pangkat / Nrp    :  AIPDA / 71080163                    
                                          Jabatan                :  PENYIDIK PEMBANTU                              
Untuk    :    1.      Melakukan penangkapan terhadap   :
N a m a                :        IDA BAGUS WIRA ADNYANA
Jenis kelamin    :      Laki-laki
Tempat lahir    :         Denpasar, 10 Januari 1989
Umur        :    21 tahun
Agama        :    Hindu
Pekerjaan        :        Mahasiswa
Pendidikan        :    SMA
Kewarganegaraa    :    Indonesia
Tempat tinggal    :    Jalan Pendidikan 670 A Denpasar
           Dan membawa ke Kantor Polisi Resor Bali tersebut diatas untuk segera dilakukan pemeriksaan, karena diduga keras melakukan Tindak Pidana tanpa hak dan melawan hukum bersama-sama atau turut serta atau berdiri sendiri-sendiri menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Gol I (Heroin) lebih dari 5 (lima) gram sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika jo. Pasal 55 KUHP subsider tanpa hak dan melawan hukum bersama-sama atau turut serta atau berdiri sendiri-sendiri memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Gol I (Heroin) lebih dari 5 (lima) gram, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika jo. Pasal 55 KUHP.
                            2.   Setelah melaksanakan perintah ini agar membuat Berita Acara Penangkapan.
    3.   Surat Perintah ini berlaku dari  tanggal 13 Oktober 2009 s/d 14 Oktober 2009

Dikeluarkan di     :    Badung
                                                                                         Pada tanggal         :    13 Oktober 2009       

                                                                                          a.n. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH BALI
                                               KASAT  RESKOBA Selaku PENYIDIK
        

               A.ADIL ARYAWAN
                                                                  A K P   NRP  65060783
Pada hari ini Selasa Tanggal 13 Oktober 2009 , lembar ke V Surat Penangkapan diserahkan kepada tersangka dan tembusan kepada keluarganya.
  Yang menerima/tersangka                          Yang menyerahkan
                              



                                Kadek Devi                        AKP. I NENGAH PINPIN                                                IPDA/66110012

Apa sih kewajiban pemegang hak atas tanah?

 
“ Hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas menurut UU….. “ (pasal 4 ayat(2) UUPA).

·        Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6)
·        Tiap warganegara laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak serta mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi dirinya sendiri maupun keluarganya (pasal 9 (2)).
·        Setiap orang atau Badan Hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan (pasal 10 (1)).
·        Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah (ps 15).

 Kewajiban Pemegang Hak Atas Menurut Peraturan Lainnya

·        Setiap orang mempunyai hak atas Lingkungan yang baik dan sehat. Dan setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. (UU No. 4 tahun1982).
·        Setiap pemegang Hak Atas Tanah dan pengusahaan di perairan dalam wilayah sistim penangga kehidupan, wajib menjaga kelangsungan fungsi lindung wilayah tersebut (UU No. 5 tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistimnya)
·        Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 68 UU no 41 tahun 1999)

Syarat Yang Harus Dipenuhi Untuk Nikah Beda Negara

Menurut Peraturan yang berlaku di Indonesia, perkawinan adalah sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. selanjutnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 bahwa perkawinan bagi yang beragama Islam dicatatkan di KUA dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan sipil
Persyaratan - persyaratan yang harus dipenuhi untuk mempelai WNI antara lain :
- Surat Pengantar dari Kelurahan (PMI, N1, N2, N)
- Foto Copy KTP dan KK
- Foto Copy Akta Kelahiran
- Foto Copy WNI/Ganti Nama
- Pas Photo duduk berdampingan (berwarna) uk. 4x6 = 5 lembar
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mempelai WNA antara lain :
- Izin menikah dari Keduataan Besar Negara yang bersangkutan
- Foto Copy Passport
- Surat Kelengkapan lainnya (Akta Perceraian (sudah ditranslate) apabila yang bersangkutan pernah kawin dan cerai)
Untuk pernikahan secara Islam, saudari dapat menanyakan langsung kepada KUA setempat.

Sabtu, 17 Maret 2012

PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA (proclamation of Indonesian independence)


PROKLAMASI
Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta.
Sukarno Signature.svg
Mohammad Hatta signature.svg

 
 

                                                    PROCLAMATION
WE THE PEOPLE OF INDONESIA HEREBY DECLARE THE INDEPENDENCE OF
INDONESIA. MATTERS WHICH CONCERN THE TRANSFER OF POWER AND
OTHER THINGS WILL BE EXECUTED BY CAREFUL MEANS AND IN THE
SHORTEST POSSIBLE TIME.
DJAKARTA, 17 AUGUST 1945
IN THE NAME OF THE PEOPLE OF INDONESIA
SOEKARNO—HATTA

Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia



1.    Tahun 1945 – 1949
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
a.    Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b.    Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.
2.    Tahun 1949 – 1950
Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

3.    Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a.    presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.    Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.    Presiden berhak membubarkan DPR.
d.    Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
4.    Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
5.    Tahun 1966 – 1998
Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei ’98.
6.    Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
# Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
DPR sebagai pembuat UU.
Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
BPK pengaudit keuangan.
# Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002)
MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
# Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensial. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
# kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.
Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet.
Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR.
# Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.
Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.
Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian

Macam Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan
Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.
Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
# Pengelompokkan system pemerintahan:
1.    system pemerintahan Presidensial
merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial:
1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
4. eksekutif dipilih melalui pemilu.
2.    system pemerintahan Parlementer
merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia.

Ciri-ciri dan syarat system pemerintahan Parlementer:
1. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
2. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet.
3. Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.
3.     system pemerintahan Campuran
dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan system pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Contoh Negara: Perancis.

PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
  1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

  1. Pidana Penjara
  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
  2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
  4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

  1. Pidana Tambahan
  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

  1. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
  3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.  http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/

pertanggungjawaban Pidana pada Perkara Korupsi

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.  Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-undang   tentang
Kepegawaian;
b.  pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum
Pidana;
c.  orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.  orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e.  orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.  Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

NEGATIVE LEGISLATOR

                                                                 NEGATIVE LEGISLATOR
                                                                           Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
Penggunaan judicial review (JR) telah berumur cukup lama. Pelacakan sejarah yang dilakukan Mauro Cappelletti (1989), konsep JR telah dimulai sejak sistem hukum Yunani Kuno yang menetapkan keniscayaan suatu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan nilai peraturan yang berada di atasnya. Gagasan JR, melakukan pemurnian produk legislasi yang dihasilkan law-maker.
Terkait dengan gagasan itu, Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State (1973) mengemukakan bahwa kewenangan lembaga peradilan menyatakan suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga tidak Sampai saat ini pemikiran JR terus berkembang terutama setelah John Marshall yang kemudian melahirkan istilah judicial review tersebut di atas. Sedangkan dalam pelembagaannya mengenal nama Hans Kelsen sebagai perintis lahirnya Mahkamah Konstitusi pertama. Dalam istilah Kelsen, pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation.”
Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator. Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:
The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be composed according to a totally different principle from that of the parliament elected by the people.
Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif. Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal order”. Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian itu, tambah Laica Marzuki, tidak hanya perlemen yang memiliki legislative function tetapi juga constitutional court.
Menjelaskan siginifikansi judicial power dalam proses legislasi, Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet (1999) dalam Comparative Constitutional Law mengatakan, ketika hakim konstitusi (constitutional judges) melakukan review terhadap hasil proses legislasi, proses pengambilan keputusannya lebih dekat ke proses pengambilan keputusan lembaga legislatif. Bahkan, begitu pentingnya peran judicial review dalam proses legislasi, Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet menyebut judicial review sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi. Hal tersebut ditegaskan sebagai berikut:
As a description of function, constitutional courts exercising politically initiated abstract review can be conceptualized profitably as a third legislative chambers whose behavior is nothing more or less than the impact –direct and indirect-- of constitutional review on legislative outcomes.
Pendapat Vicky C. Jackson dan Mark Tushnet tersebut diperkuat oleh I. Bogdanovskaia sebagai berikut ini:
The bodies of the constitutional review have become important element influences on the law-making. Sometimes the position of these bodies is opposite to the position of the parliament and government and often position of the constitutional review is dominant. The constitutional courts play important role in the modern legal systems.
Dengan demikian, secara keseluruhan konsep judicial review memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan mekanisme legislasi. Secara teoretik, konsep itu dapat dianggap sebagai pengganti kebutuhan kamar lain di lembaga legislatif. Keberadaannya amat jelas, sebagai pengimbang produk legislasi baik setelah disetujui lembaga legislatif maupun setelah disahkan menjadi undang-undang. Di samping itu, judicial review merupakan jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi yang menyimpang dari aspirasi fundamental rakyat. Karena itu, judicial review merupakan alat kontrol eksternal dalam proses legislasi.
Kontrol dalam bentuk judicial review menjadi sebuah keniscayaan terutama jika kekuatan mayoritas di lembaga legislatif merupakan pendukung presiden. Artinya, judicial review dapat dikatakan sebagai sebagai sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif. Inilah yang oleh Hans Kelsen, “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation.” Ide dasarnya adalah memurnikan hasil legislasi yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga yudikatif, dengan kuatnya kepentingan politik di lembaga legislatif, sangat terbuka kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat.
Dengan demikian, kehadiran MK yang diberikan wewenang untuk melakukan judicial review secara langsung telah ikut mempengaruhi proses legislasi di Indonesia. Hal demikian, MK telah menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya kekeliruan baik formail maupun subtansial dalam proses legislasi.



John E. Ferejohn, 2002-2003, Constitutional Review in the Global Context, dalam 6th New York University Journals, Legis. & Pub. Pol’y 49, 52.
Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268.
Ibid., hal. 268-269.
Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256.
Anna Rotman, 2004, Benin’s Constitutional Court : An Institutional Model for Guaranteeing Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat juga: Gustavo Fernandes de Andrade, 2001, Comparative Constitutional Law: Judicial Review, dalam 3 U. Pa. Journal Constitutional Law. 977, hal. 983.
H.M. Laica Marzuki, 2007, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 6.
Vicki C. Jackson, & Mark Tushnet, 1999, Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hal. 706.
Ibid.
I. Bogdanovskaia, op.cit. hal. 30.
Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University Press, hal. 2.
John E. Ferejohn, 2002-2003, Constitutional Review in the Global Context, dalam 6th New York University Journals, Legis. & Pub. Pol’y 49, 52.

UUPA: ANTARA CITA-CITA DAN REALITA

       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. UUPA sendiri disahkan pada tanggal 24 september 1960, dengan adanya undang-undang ini pula berarti bahwa rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran, disamping itu peran negara juga bergeser yang semula sebagai pemilik hanya sebagai penguasa.

        Dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Ini berarti UU masih mengakui adanya tanah dan hak ulayat sebagai bagian dari peraturan, sehingga baik negara ataupun warga negaranya harus menghormati hak atas tanah pada masyarakat ulayat.

        Namun dalam realitasnya jaminan kepastian hukum dalam hal pertanahan belum sepenuhnya terjamin. UUPA yang sejatinya ingin menjaga keutuhan negara yang Agraris sering dipengaruhi oleh kepentingan rezim-rezim tertentu. Contohnya saja di masa kepemimpinan Soeharto dimana mulai muncul UU yang menguntungkan kepentingan asing seperti UU Penanaman Modal sehingga banyak bermunculan investor-investor asing dan tanah mulai diambil secara sepihak oleh pemerintah. Konflik- konflik pertanahan terus bermunculan hingga saat ini. fenomena ini semakin menggila ketika ribuan izin usaha perkebunan skala besar dan pertambangan diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah.buruknya tata kelola dan niat baik terhadap pengaturan tanah untuk rakyat ini semakin menipiskan ruang hidup bagi 237 juta jiwa rakyat Indonesia.
Menipisnya lahan untuk pertanian serta kurang sejahteranya masyarakat petani juga menjadi faktor mulai hilangnya kehidupan agraris di Indonesia. Generasi penerus petani mulai berfikir  bekerja ke arah industri yang lebih modern karena dianggap lebih mampu mensejahterakan kehidupannya, apalagi lahan-lahan pertanian yang mereka miliki sudah menjadi lahan industri atau perumahan. Dan walaupun sistem Tuan Tanah sudah dihapuskn namun di era modern ini masih tetap ada hal ini dibuktikan dengan adanya yang menjadi buruh tani.

         UUPA seharusnya berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, namun dalam prakteknya UU ini tidak berlaku di seluruh Indonesia dimana di beberapa tempat memiliki ketetapan yang mengatur pertanahan di wilayah tersebut. Disamping itu ciri UUPA yang bersifat nasionalis sudah mulai luntur, walaupun sifat asing dalam UUPAbsudah dihapuskan namun dalam prakteknya bangsa asing masih bisa memiliki atau menguasai tanah di Indonesia, hal ini termuat dalam PP NO. 41 Tahun 1996.
Disisi lain tanah ulayat kurang diakui oleh sebagian kelompok orang, sengketa-sengketa tanah yang menyangkut persekutuan masyarakat komunal dengan suatu lembaga atau perusahaan atau bahkan individu sering diputus berbeda-beda. Hakim yang masih menghargai hak ulayat akan memenangkan masyarakat adat akan tetapi yang tidak mengakui adanya tanah ulayat akan mengalahkan masyarakat adat, putusan-putusan seperti ini sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan bahkan kerusuhan.
Dilihat dari beberapa contoh masalah diatas kesimpulannya eksistensi UUPA belum berjalan secara utuh karena pengaruh kepentingan disamping itu adanya UU atau perda yang sejatinya melemahkan hak masyarakat petani. Untuk itu diperlukannnya koreksi diri baik dari pihak pembuat UU, pelaksana UU, pengawas pelaksanaan UU, ataupun masyarakat sendiri yang sangat berperan atas keutuhan agraris di Indonesia.

                 TUGAS HUKUM AGRARIA

       UII YOGYAKARTA/FAKULTAS HUKUM
                                   2012

Prinsip Hukum Islam

                                                          PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM

1. Prinsip Tauhid

Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47). Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
a. Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara .
Artinya : bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai
zat yang wajib di sembah.
b. Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan
    iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur .
Artinya : hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa
syukur atas nikmat Allah.


Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan/meniadakan kesulitan.
Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :
     Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’ yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
       diperintahkan Allah dan Rasul-Nya .
    Al-masaqqah tujlibu at-taysiir yaitu Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan  mendatangkan kemudahan .

2. Prinsip Keadilan

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura : 17 dan Al-Hadid : 25.
Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat .
Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a.    QS. Al-Maidah : 8  Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu,
  adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan 
  mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi) .
b.    QS. Al-An‟am : 152  Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal
  terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan  
  dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang .
c.   QS. An-Nisa : 128  Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri .
d.  QS. Al-Hujrat : 9  Keadilan sesama muslim .
e.   QS. Al-An‟am :52  Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang
       harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan
       kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
     1) al-sala’h wa al-aslah
     2) al-Husna wa al-qubh.
   Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
a.    Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” maksudnya perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia .
b.    Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif
sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.

4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun : 5)

5. Prinsip Persamaan/Egalite

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip At-Ta‟awun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya --- tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan      Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya .